Sepasang suami-istri punya profesi sama: Guru. Kala itu, akhir 1970-an, anak-anak pasangan ini masih kecil. Anak sulungnya belum genap 10 tahun, masih duduk di bangku sekolah dasar. Impiannya masa itu, ketika si bocah memasuki perguruan tinggi, penghasilan mereka sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan si buah hati.
Pasangan suami-istri ini lalu menyusun rencana. Keduanya mesti kuliah agar penghasilan mereka kelak meningkat, seiring dengan perjalanan waktu. Untuk mencapai impian tersebut, apa boleh buat, mereka mesti berupaya mencari tambahan penghasilan. Gaji sebagai guru dirasakan tidak mencukupi.
Di sela-sela waktu mengajar, mereka lalu berjualan rokok di Pasar 45, Manado. Kerap sekali anak sulungnya ikut membantu. Kebetulan, pemilik toko tempat keluarga ini berjualan punya koleksi banyak buku bacaan. Ini yang membuat anak itu kian rajin ikut membantu orangtuanya. Apalagi, pemilik toko tidak pelit meminjamkan buku-buku koleksinya.
Bak oase di tengah gurun pasir, kegemarannya membaca seakan terpenuhi. Anak itu membaca banyak jenis buku, hingga buku-buku yang tergolong berat untuk anak seusianya. ”Hari ini baru saya tahu, buku-buku yang saya baca saat itu termasuk buku-buku yang berat-berat,” kata si anak sulung itu, mengenang.
Taufiq Pasiak, si anak sulung yang hobi membaca itu, akhirnya kuliah di Fakutas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, seusai menyelesaikan pendidikannya di SMA. Kini tiga gelar sarjana mendampingi namanya: dr Taufiq Pasiak MPdI MKes. Ketika ia masuk bangku kuliah, orangtuanya sudah merampungkan kuliahnya. Mimpi orangtua yang dibangun dengan keringat menjelma menjadi kenyataan.
Best seller
Di masa mahasiswa, anak sulung dari enam bersaudara kelahiran Manado, 29 Januari 1970, ini tergolong aktivis. Aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Manado, Taufiq kerap membawakan materi nilai identitas kader dalam setiap kegiatan pengkaderan. Materi itu berkaitan dengan otak manusia dan nilai-nilai agama. Perjalanan hidup kemudian membawa staf pengajar FK Unsrat ini kian mendekatkan kedua hal itu: Agama dan kedokteran.
Lulus pada 1996, ia sempat tiga tahun bertugas sebagai dokter PTT di sebuah puskesmas di Minahasa dan enam tahun berpraktik sebagai dokter. Ia pun menempuh pendidikan pascasarjana di dua tempat yang berbeda dan dua disiplin ilmu yang secara diametral bersilangan 180 derajat. Tahun 2001, Taufiq mengikuti Program Pascasarjana di IAIN Alauddin, Makassar, dan memperoleh gelar magister pendidikan Islam (MPdI) pada 2003. Tahun 2002, ia memasuki Program Pascasarjana di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan minat utama pada neuroanatomi (neurosains), suatu disiplin yang mempelajari sistem saraf.
Pemahamannya yang dalam terhadap dua cabang ilmu itu mampu ia urai dengan sistematis. Bukunya, Revolusi IQ/EQ/SQ: Antara Neurosains dan Alquran yang diterbitkan Mizan, 2002, termasuk buku best seller. Dicetak berulang kali. Prof dr JW Siagian, guru besar Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Unsrat menyebut buku ini sebagai kacamata tembus pandang. Sebelah kiri terbuat dari sains kedokteran dan sebelah kanan dari agama.
Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Manado ini juga menulis sejumlah buku. Antara lain, Manajemen Kecerdasan (Mizan, 2005), Membangun Raksasa Tidur (Gramedia, 2004), Brain Management for Self Improvement (Mizan, 2006), dan Otak Rasional – Otak Intuitif (Manado, 1995). Meski telah menyusun sejumlah buku yang berkaitan dengan neurosains dan Alquran, tapi anggata Tanwir PP Muhammadiyah ini tak ingin disebut saintis. ”Saya hanya pemerhati neurosains dan aktivis organisasi,” tutur anggota Pusat Studi Neuropsikobiologi dan Pemuda Lintas Agama Sulawesi Utara (Sulut) ini.
Toh, penerima beasiswa S3 dari The Habibie Center untuk program doktoralnya di UIN Surabaya, ini kerap diundang berbicara dalam berbagai seminar dan pelatihan yang berkaitan dengan otak dan Alquran. Pekan lalu, misalnya, ia berada di Jakarta, berceramah di berbagai tempat. Antara lain di kediaman Menpora Adhyaksa Dault. ”Mind set harus diubah dengan cara berpikir jangka panjang,” ujarnya.
Bagaimana Taufiq melihat kemampuan otak orang Indonesia? Ayah tiga anak dari pernikahannya dengan dr Dewi Utari Djafar ini mengatakan pemanfaatannya masih banyak yang jauh dari maksimal. ”Orang Indonesia tidak lebih dari 10 persen yang mengoptimalkan kapasitas otaknya,” ujar dia.
Taufiq menyatakan ingin ikut mengambil bagian dalam membangun pengembangan dan pemanfaatan potensi otak orang Indonesia. Jalan yang akan ditempuhnya mungkin akan panjang, tapi lebih terarah. ”Saya ingin membangun sekolah,” ucapnya.
Di sekolah itu, dalam bayangan Taufiq, akan memadukan empat kapasitas otak. Yakni mental dan fisik, intelektual, spiritual, dan emosinal. Dari sini diharapkan lahir orang-orang yang kapasitasnya tumbuh dengan baik, orang-orang seperti Ibnu Sina. ”Sekarang saya sedang menabung,” ucapnya.
Sumber : www.republika.co.id
Senin, 23 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kami butuh ilmu yang berhubungan dengan aktifitas kecerdasan
BalasHapusSaya mau tanya. Apa benar anak jelas 1 sd harus sudah bisa membaca. Anak saya bulan juli ini 6 tahun. Semua orang tua teman²nya berlomba lomba mendaftarkan les calistung. Sedangkan saya,sepertinya anak saya masih belun tertarik. Justru dia lebih tertarik ikut mengaji. Bagaimana ya dengan kasus saya ini. Harus bagaimana? Apakah saya harus mengajarkan membaca di rumah? Atau dibiarkan dlu saja
BalasHapus